Coba, deh, lihat foto ini baik-baik. Ada puluhan anak muda, semua pakai kaus kuning, berpose riuh di depan panggung bambu yang diterangi lampu sorot. Ada yang ketawa, ada yang pasang muka serius tapi asyik, semuanya menunjuk ke satu arah. Kelihatan seru, kan? Tapi ini bukan sekadar foto seru-seruan biasa. Ini adalah jawaban dari pertanyaan yang sering banget muncul: gimana caranya sebuah gerakan di kampung kecil bisa bertahan sampai 15 tahun?
Ini adalah Festival Kampung Cempluk #15. Lima belas tahun, bukan waktu yang sebentar. Menjaga ritme, tempo, apalagi energi kolektif selama itu rasanya mustahil. Tapi nyatanya, api itu masih menyala. Dan pilar-pilar apinya ya mereka ini, generasi yang ada di dalam foto.
Bukan Lagi Festival, Tapi Sudah Jadi “Hari Raya”
Buat kami di sini, Festival Kampung Cempluk itu sudah bukan sekadar acara tahunan. Ini adalah “Hari Raya Kebudayaan”. Tahu kan rasanya nungguin Lebaran atau hari besar lainnya? Ada rasa kangen, ada semangat buat “pulang”, ada keinginan buat kontribusi. Begitulah festival ini kami maknai.
Kata “RAYA” itu jadi kunci. “Raya” bukan cuma soal megah atau besar-besaran. “Raya” adalah akumulasi dari kerja-kerja kecil yang tulus. Ini tentang semangat Personal Social Responsibility (PSR), yang kalau dibahasakan secara kampung ya bunyinya, “Aku bisa bantu apa, ya?” atau “Ini bagianku, aku yang beresin.” Tanggung jawab personal itu lalu melebur jadi satu, jadi sebuah gerakan kolektif yang solid. Guyub.
Sistem “AUTO-PILOT” ala Kampung Cempluk
Setelah 15 tahun, jujur saja, kampung ini sudah punya pola yang seakan berjalan AUTO. Mirip kayak era AI generatif sekarang. Kita tinggal menancapkan ide atau gagasan—ibaratnya kita ngasih prompt. Lalu, lewat musyawarah kolektif yang jadi otaknya, ide itu akan “ter-generate” sendiri jadi sebuah program yang nyata, yang hidup, yang bisa dijalankan bareng-bareng.
Nggak perlu lagi ada perintah dari atas ke bawah. Anak-anak muda ini sudah tahu DNA-nya. Mereka sudah paham “source code” dari festival ini. Mereka bisa berimprovisasi, menciptakan hal-hal baru, tapi ruhnya tetap sama. Mereka inilah mesin generatif itu.

kelompok karang taruna kampung cempluk
Lihat lagi foto itu. Panggung bambu di belakang mereka itu nggak disewa dari vendor. Itu hasil begadang, hasil keringat, hasil tawa dan debat dari anak-anak ini dan warga lainnya. Ruang kami mungkin terbatas, cuma laman kampung yang sempit. Tapi spirit, kreativitas, dan keguyuban kami nggak punya batas.
Jadi, ketika puluhan anak muda ini serempak berpose, mereka sebenarnya sedang membuat sebuah pernyataan. Mereka bukan sekadar panitia atau penonton. Mereka adalah pewaris sekaligus penjaga api. Mereka adalah bukti hidup bahwa regenerasi di kampung kami bukan teori, tapi sebuah siklus yang terus berputar secara alami.
Foto ini bukan cuma kenangan. Ini adalah sebuah janji. Janji bahwa cempluk (lampu minyak) di kampung ini akan terus menyala, dihidupi oleh generasi-generasi baru yang punya energi lebih besar dan ide-ide yang lebih gila. Inilah cara kami merayakan kebudayaan: dengan kerja, dengan tawa, dan dengan memastikan selalu ada generasi berikutnya yang siap mengambil alih obor.
Pawon Cempluk, 9 Oktober 2025
KCF malam ke-4, jam 23:11 malam
(REP)
No comments yet.