Categories
  • Agenda
  • Artikel
  • Cerita Kampung
  • Event
  • Kabar
  • Program
  • GUNTUR DESA (Sebuah Cerita Fiksi)

    Jul 26 202557 Dilihat

    Di sebuah sudut Negara Konoha, tersembunyi Kabupaten M, dan di dalamnya, ada sebuah desa bernama Sukaria. Nama yang ironis, jika kau tahu akhir ceritanya. Desa Sukaria bukanlah desa yang kaya raya, penduduknya petani dan buruh biasa. Tapi mereka punya satu hal yang tak dimiliki desa lain: sebuah kebanggaan yang bergemuruh. Kebanggaan itu punya nama: “Guntur Desa”.

    Guntur Desa bukanlah nama kesatria atau legenda. Itu adalah nama yang mereka berikan pada tumpukan speaker raksasa, setinggi rumah, yang dirakit dari hasil iuran dan gotong royong. Setiap ada hajatan—entah itu pernikahan, sunatan, atau sekadar syukuran panen—Guntur Desa akan meraung. Baginya, dentuman bass yang membuat dada bergetar dan jendela-jendela berderak adalah puncak kebahagiaan. Itu adalah cara mereka berkata pada dunia, “Kami ada, dan kami sedang bersenang-senang!”

    Pak Bardi, seorang petani cabai, adalah salah satu pemuja Guntur Desa. “Suara ini, Nak,” katanya pada Dimas, putranya yang masih SD, sambil menggendongnya di pundak saat hajatan, “Ini suara kebersamaan. Kalau suaranya kencang, berarti desa kita kompak!”

    Dimas kecil akan tertawa, meski telinganya kadang terasa pekak. Para pemudanya akan menari kesetanan, merasa menjadi raja semalam. Ibu-ibu di dapur akan saling berteriak untuk bisa mengobrol, menganggapnya sebagai bagian dari kemeriahan. Yang penting satu: semua senang. Euforia kolektif ini adalah candu.

    Peringatan sudah datang berkali-kali. Pak Camat, dalam kunjungannya, pernah berpidato dengan pengeras suara yang suaranya tenggelam oleh Guntur Desa yang sedang diuji coba. “Bapak-bapak, Ibu-ibu, ada aturan tingkat kebisingan! Ini bisa merusak pendengaran!” Pidatonya jadi angin lalu, bahan tertawaan di warung kopi. “Pak Camat orang kota, mana paham senangnya orang desa,” cibir mereka.

    Ustadz Halim, ulama sepuh di desa itu, juga menasihati dengan lembut setelah shalat Jumat. “Syukur itu diwujudkan dengan ketenangan, bukan dengan hingar bingar yang menyakiti diri sendiri dan mengganggu yang lain. Telinga ini amanah, jangan dirusak.” Jemaah mengangguk-angguk, tapi begitu keluar masjid dan mendengar Guntur Desa dipanaskan, nasihat itu menguap begitu saja.

    Lalu, keheningan datang. Bukan keheningan yang menenangkan, tapi keheningan yang memekakkan.

    Dimulai dari hal-hal kecil. Pak Bardi tidak lagi mendengar suara jangkrik di malam hari. Ia pikir, mungkin jangkriknya sedang mogok. Lalu ia tidak mendengar kokok ayam jago yang biasanya jadi alarm paginya. Ia mulai sering bertanya, “Apa katamu, Bu?” pada istrinya, yang harus mengulang kalimatnya dengan lebih keras.

    Fenomena ini menyebar seperti wabah sunyi. Para pemuda yang dulu paling depan menari, kini sering terlihat bengong. Di tempat kerja, mereka jadi lamban merespon panggilan. Seorang kuli bangunan nyaris celaka karena tak mendengar teriakan peringatan temannya.

    Puncaknya adalah ketika Dimas pulang sekolah sambil menangis. “Pak, Bu Guru tadi memanggil Dimas tiga kali, tapi Dimas tidak dengar. Dimas dihukum di depan kelas,” isaknya. Telinganya berdenging terus-menerus, katanya.

    Desa Sukaria dilanda kepanikan. Mereka berbondong-bondong ke puskesmas, lalu dirujuk ke dokter THT di kota. Antrian panjang di depan klinik THT itu didominasi oleh wajah-wajah yang mereka kenal: tetangga mereka, pemuda-pemudi desa, bahkan anak-anak kecil. Wajah-wajah itu sama: bingung, takut, dan penuh penderitaan sunyi.

    Dokter tua itu hanya bisa menggelengkan kepala setelah memeriksa puluhan pasien dari Desa Sukaria. “Kerusakan permanen pada sel rambut di dalam telinga. Akibat paparan suara ekstrem dalam waktu lama. Ini bukan flu yang bisa sembuh. Kalian akan hidup dengan tinitus—denging di telinga—dan pendengaran yang tidak akan pernah kembali normal.”

    Dunia seakan runtuh.

    Kebanggaan berubah menjadi penyesalan. Uang tabungan yang seharusnya untuk biaya sekolah Dimas, habis untuk biaya berobat yang tak kunjung membawa hasil. Petani seperti Pak Bardi kesulitan mendengar suara hama atau negosiasi harga di pasar. Para pemuda kehilangan pekerjaan. Desa Sukaria yang dulu riuh rendah oleh tawa dan musik, kini menjadi desa yang ganjil. Orang-orangnya berbicara dengan cara berteriak. Kesalahpahaman menjadi makanan sehari-hari. Keceriaan telah dibayar lunas dengan penderitaan jangka panjang.

    Merasa putus asa, mereka melakukan apa yang dulu mereka abaikan: mereka pergi ke kantor camat. Bukan untuk pamer, tapi untuk menuntut.

    “Pemerintah harus bantu kami! Kami ini rakyat kecil!” teriak salah seorang warga, suaranya parau. “Berikan kami bantuan untuk berobat! Ini bencana!”

    Pak Camat menatap kerumunan yang marah dan putus asa itu dengan tatapan iba, tapi juga lelah. “Bencana, Pak? Bukankah bencana ini Bapak-bapak ciptakan sendiri? Bukankah sudah saya ingatkan? Bukankah Ustadz Halim sudah menasihati?”

    Tak ada yang bisa menjawab. Mereka hanya bisa saling pandang dalam keheningan baru mereka yang menyakitkan.

    Malam itu, Pak Bardi duduk di teras rumahnya yang senyap. Guntur Desa sudah dibongkar, besinya dijual kiloan untuk tambahan biaya berobat. Ia melihat Dimas mencoba membaca buku pelajaran dengan wajah muram. Dulu, di teras ini, ia bisa mendengar tawa putranya. Sekarang, ia hanya bisa melihat mulut anaknya terbuka, tanpa bisa menangkap suara kebahagiaan dari sana.

    Dan di tengah keheningan abadi yang kini menyelimuti Desa Sukaria, Pak Bardi akhirnya menyadari. Harga dari kesenangan sesaat yang memekakkan telinga, adalah duka permanen yang paling sunyi. Gemuruh kebanggaan mereka telah sirna, menyisakan sebuah gema penyesalan yang akan terus berdenging di kepala mereka, selamanya.

    Video: GUNTUR DESA (Sebuah Cerita Fiksi)

    Share to

    Related News

    15 Tahun dan Api Itu Masih Menyala, Kok ...

    by Oct 10 2025

    Coba, deh, lihat foto ini baik-baik. Ada puluhan anak muda, semua pakai kaus kuning, berpose riuh di...

    Suara Organik dari Gang Sempit: Kisah Ka...

    by Jul 26 2025

    Ada sebuah lanskap bebunyian yang kini begitu akrab saat melintasi jalan-jalan di antara desa-desa d...

    Catatan peristiwa Laman Kampung

    by Jul 26 2025

    aya sering merenung, di tengah riuh rendahnya dunia digital yang katanya serba cepat ini. Ada satu k...

    Panggung Politik Sebesar Speaker 18 Inch...

    by Jul 26 2025

    Gini, lho. Pernah nggak sih, pas lagi riding santai lewat jalanan antar desa, tiba-tiba mata kita ...

    No comments yet.

    Sorry, the comment form is disabled for this page/article.
    back to top