Categories
  • Agenda
  • Artikel
  • Cerita Kampung
  • Event
  • Kabar
  • Program
  • Panggung Politik Sebesar Speaker 18 Inch, Didanai Kekompakan Semu

    Jul 26 202541 Dilihat

    Gini, lho. Pernah nggak sih, pas lagi riding santai lewat jalanan antar desa, tiba-tiba mata kita ketabrak sama poster segede gaban? Posternya bukan konser artis ibu kota, tapi acara “Bersih Desa” atau “Sedekah Bumi”. Desainnya itu lho, punya pola yang khas banget, kayak udah ada template-nya dari sononya.

    Dosclaimer ilustrasi gambar AI

    Di bagian paling atas, udah pasti, foto Bapak Kepala Desa. Posenya gagah, senyumnya paling lebar se-kabupaten. Di sebelahnya, dengan senyum yang nggak kalah strategis, Ibu Kepala Desa. Keduanya kayak pasutri di sampul majalah keluarga sakinah, tapi dengan latar belakang… logo-logo sound system.

    Iya, beneran. Di bawah foto mereka, berjejer rapi logo-logo dengan nama sangar: “Brewog Audio”, “Riswanda”, “Storm Audio”, dan puluhan nama lain yang siap bikin jantung copot. Ini yang bikin saya sering senyum-senyum sendiri di jalan. Kenapa “pasar” utama penyewaan sound horeg yang harganya bisa puluhan, bahkan ratusan juta ini, kok ya mentoknya di acara bersih desa?

    Awalnya keliatan aneh. Tapi kalau kita coba bedah, ini tuh jenius banget.

    Visual poster itu sendiri udah jadi penanda. Itu bukan sekadar pengumuman acara. Itu adalah sebuah statement politik di level paling dasar, paling jujur, dan paling berisik. Foto Kades dan istri di atas itu bukan cuma pajangan, itu adalah brand identity. Pesannya jelas: “Ini lho, yang punya hajat. Ini lho, pemimpin yang bisa bikin desa ‘rame’ dan warganya seneng. Di bawah kepemimpinan saya, desa kita nggak ketinggalan zaman.”

    Disclaimer ilustrasi gambar dari AI

    Sementara itu, deretan logo sound di bawahnya adalah para “gladiator” yang disewa untuk membuktikan klaim itu. Mereka adalah simbol kemegahan, kekuatan, dan yang paling penting, gengsi. Semakin banyak dan semakin sangar sound yang dipajang, semakin tinggi “kasta” acara bersih desa itu.

    Ini persis, plek ketiplek, sama template baliho pas musim PEMILU, kan? Ada foto calon, ada logo partai pendukung. Di desa, Kades adalah calonnya, dan sound horeg ini adalah “partai koalisinya”. Mereka yang bakal menggetarkan massa, secara harfiah.

    Nah, di sinilah konsep “one man one vote” jadi relevan banget. Di politik level desa, pertarungan itu tipis-tipis. Suara dentuman bass yang bisa bikin genteng rumah bergetar itu lebih nyata daripada janji perbaikan jalan.

    Terus duitnya dari mana? Nah, ini bagian yang bikin ekosistemnya makin kompleks dan seksi buat dikaji. Tentu ada “Dana Desa” dengan dalih “kebudayaan”. Tapi seringkali, itu nggak cukup. Di sinilah panggung kedua terbuka: panggung para juragan kampung dan budaya urunan.

    Disclaimer ilustrasi gambar dari AI

    Seringkali, yang jadi kompornya bukan cuma Kades. Ada juragan tanah, bos toko material, atau mantan TKI sukses yang baru pulang kampung. Mereka ini “elite lokal” yang butuh panggung untuk menegaskan status sosialnya. Caranya? Jadi sponsor utama. “Wes, sound system biar saya yang nambahin satu lagi, biar makin horeg!” teriaknya di rapat karang taruna. Tepuk tangan membahana. Gengsinya langsung naik, namanya disebut-sebut di panggung oleh MC.

    Aksi si juragan ini jadi pemicu. Setelah ada “contoh”, narasi berikutnya yang dibangun adalah “kekompakan kultural”. Panitia, yang biasanya pemuda-pemuda desa, mulai keliling dari rumah ke rumah. “Monggo, Pak, partisipasinya buat sewa sound. Demi nama baik dusun kita. Biar nggak kalah sama desa sebelah.”

    Disclaimer, ilustrasi gambar dari AI

    Dan di sinilah letak magisnya. Urunan ini bukan lagi soal finansial, tapi sudah jadi ritual sosial. Menolak urunan sama dengan dicap “tidak kompak”, “tidak peduli desa”. Mau nggak mau, suka nggak suka, amplop diisi. Dana pun terkumpul. Semua demi sebuah ilusi kekompakan yang diukur dari seberapa keras dentuman bass dan seberapa meriah karnavalnya.

    Kombinasi antara dana desa (legitimasi formal), sponsor juragan (legitimasi modal), dan urunan warga (legitimasi sosial) ini menciptakan sebuah mesin politik dan ekonomi yang luar biasa.

    Dan yang paling bikin saya kagum tetaplah respon dari warganya. Permintaan politik dan sosial ini melahirkan sebuah ekosistem kreativitas yang super liar. Para pemilik sound system kini bukan cuma bersaing merebut hati Kades, tapi juga hati para juragan dan restu seluruh kampung. Mereka berlomba-lomba merakit sound paling gahar, dengan tatanan lampu paling kerlap-kerlip, dan power amplifier yang dayanya bisa buat nerangin satu kecamatan.

    Jadi, kalau kita tarik benang merahnya, ini adalah sebuah simbiosis mutualisme yang rumit tapi nyata. Kades butuh panggung untuk branding politik. Juragan butuh panggung untuk status sosial. Pemilik sound butuh orderan untuk hidup dan berekspresi. Dan warga… warga butuh hiburan sekaligus ajang pembuktian bahwa dusun mereka adalah yang paling kompak, paling solid, paling… HOREG.

    Disclaimer , ilustrasi gambar dari AI

    Jadi, lain kali kalau dada kita ikut bergetar karena dentuman bass dari karnaval sound di desa sebelah, ingatlah… itu bukan sekadar musik keras. Itu adalah denyut nadi politik, ekonomi, dan sosial sebuah desa yang sedang berkomunikasi dengan cara yang paling jujur dan paling memekakkan telinga. Gila, sekaligus jenius.

    Hehehe.

    Pawon Cempluk (penyelia bunyi)

    Video: Panggung Politik Sebesar Speaker 18 Inch, Didanai Kekompakan Semu

    Share to

    Related News

    15 Tahun dan Api Itu Masih Menyala, Kok ...

    by Oct 10 2025

    Coba, deh, lihat foto ini baik-baik. Ada puluhan anak muda, semua pakai kaus kuning, berpose riuh di...

    Suara Organik dari Gang Sempit: Kisah Ka...

    by Jul 26 2025

    Ada sebuah lanskap bebunyian yang kini begitu akrab saat melintasi jalan-jalan di antara desa-desa d...

    Catatan peristiwa Laman Kampung

    by Jul 26 2025

    aya sering merenung, di tengah riuh rendahnya dunia digital yang katanya serba cepat ini. Ada satu k...

    GUNTUR DESA (Sebuah Cerita Fiksi)

    by Jul 26 2025

    Di sebuah sudut Negara Konoha, tersembunyi Kabupaten M, dan di dalamnya, ada sebuah desa bernama Suk...

    No comments yet.

    Sorry, the comment form is disabled for this page/article.
    back to top