japungindonesia • Jul 26 2025 • 63 Dilihat

Ada sebuah lanskap bebunyian yang kini begitu akrab saat melintasi jalan-jalan di antara desa-desa di Kabupaten Malang, terutama ketika ada hajatan atau perayaan. Dentuman bass dari sound horeg menggetarkan udara, dinding rumah, bahkan rongga dada. Fenomena ini seakan telah menjadi penanda kemeriahan baru, sebuah ekspresi massal yang diukur dari seberapa dahsyat getaran yang mampu dihasilkan. Ini adalah wajah ekspresi publik di banyak kampung.
Namun, di sebuah sudut Kecamatan Dau, tepatnya di Desa Kalisongo, ada sebuah kampung yang memilih jalan sunyi yang berbeda, namun tetap riuh dalam karyanya. Namanya Kampung Cempluk. Kampung ini adalah anomali yang indah. Di tengah kepungan tren horeg yang merata di kabupaten, mereka justru membangun benteng kearifan lokalnya sendiri.
Kampung Cempluk bukanlah pemain baru. Mereka adalah salah satu pionir yang menghelat festival budaya berbasis kampung di Malang Raya. Tahun ini, mereka akan memasuki festival tahun ke-15. Sebuah konsistensi yang mengagumkan. Apa yang mereka lakukan adalah sebuah praktik penciptaan “bentang bunyi” atau soundscape, sebuah konsep yang diperkenalkan oleh komposer dan environmentalis R. Murray Schafer. Alih-alih membiarkan ruang publik mereka didominasi oleh dentuman horeg, Kampung Cempluk secara sadar memilih untuk merawat “estetika organik” mereka. Tidak ada panggung megah, tidak ada perang sound system. Yang ada adalah perayaan di laman rumah dan jalanan kampung, di mana seni dan kehidupan melebur tanpa sekat.

Disclaimer ilustrasi gambar AI
Di sinilah letak perlawanan sunyi itu. Alih-alih menyewa sound system raksasa, anak-anak muda Kampung Cempluk justru memilih menghidupkan kembali tradisi musik perkusi. Mereka menamakan grup mereka Garuda Putih.
Seperti yang dituturkan oleh Muhammad Angga Prasetyo, Ketua Garuda Putih, dalam sebuah film dokumenter menyentuh berjudul “NADA NUSWANTARA”, perjalanan mereka tidaklah instan. Musik yang mereka mainkan berakar dari tradisi Ul-Daul Madura, yang di Malang awalnya dikenal sebagai musik patrol.
“Dulu pertama itu namanya bukan Garuda Putih,” kenang salah seorang anggota dalam film dokumenter tersebut. Awalnya, grup mereka bernama “Bedug Salamun”, bermodalkan kentongan bambu seadanya. Titik baliknya datang ketika mereka merasa “kalah modern” saat mengikuti festival di kota.
Namun, “modern” bagi mereka bukan berarti ikut-ikutan tren horeg. Kekalahan itu justru menjadi cambuk. Mereka memilih jalan kreatif yang unik: memodernisasi musik patrol dengan semangat daur ulang, yang merupakan esensi dari ul-daul. Tong bekas dan drum plastik disulap menjadi instrumen perkusi yang enerjik. Mereka tidak membeli kemeriahan; mereka menciptakannya dari apa yang ada di sekitar mereka.
Bahkan nama “Garuda Putih” adalah hasil dari dialog kolektif. Setelah nama “Bedug Salamun” dan “Elang Putih” dirasa kurang gagah, para perangkat dusun dan warga berembuk. Dipilihlah Garuda Putih, sebuah nama yang menyiratkan kebanggaan pada lambang negara, sebuah semangat keindonesiaan yang lahir dari gang sempit sebuah kampung.
Apa yang dilakukan Garuda Putih lebih dari sekadar bermain musik. Ini adalah wujud dari apa yang disebut filsuf Henri Lefebvre sebagai “produksi ruang sosial”. Menurutnya, ruang bukanlah wadah kosong yang netral, melainkan produk yang terus-menerus diciptakan melalui praktik sosial. Lewat musik perkusi, anak-anak muda ini mengubah jalanan kampung dari sekadar ruang lalu-lalang menjadi ruang ekspresi kolektif.
Proses ini juga sejalan dengan pandangan sosiolog musik, Simon Frith, yang menyatakan bahwa musik bukan hanya cerminan identitas, melainkan “sebuah proses di mana identitas dibentuk”. Melalui latihan bersama, perdebatan aransemen, hingga menghadapi keluhan tetangga di awal perjalanan, mereka menempa solidaritas. Musik menjadi lem perekat sosial yang membentuk siapa mereka sebagai sebuah komunitas. Mereka memadukan gamelan dan kendang dengan terompet dan instrumen daur ulang, meracik sebuah formula unik yang berpijak pada kearifan lokal namun tetap relevan.
Dalam kacamata antropolog Clifford Geertz, Kampung Cempluk sedang “merajut jaring-jaring makna mereka sendiri”. Festival dan musik Garuda Putih adalah simbol-simbol yang mereka ciptakan bersama untuk mendefinisikan diri mereka. Ini berbeda secara fundamental dengan budaya horeg yang cenderung menjadi konsumsi pasif, di mana identitas lebih sering diukur dari kemewahan dan volume suara.
Kampung Cempluk adalah bukti nyata bahwa merespon ruang publik tak harus dengan meminjam kemegahan dari luar. Mereka menunjukkan bahwa kreativitas bisa tumbuh dari dalam. Di saat desa-desa lain berlomba-lomba “menggetarkan” kampungnya, Kampung Cempluk memilih “menghidupkan” kampungnya dengan irama yang mereka ciptakan sendiri.
Pada akhirnya, seperti kata Angga dalam penutup film dokumenter itu, mungkin memang tak perlu banyak kata-kata. Yang terpenting adalah “bahagia”. Dan kebahagiaan di Kampung Cempluk, terdengar begitu organik, jujur, dan berakar kuat pada tanah tempat mereka berpijak.
Tulisan sore dari Pawon Cempluk
DR.REP
Referensi dan Kutipan yang Digunakan:
Coba, deh, lihat foto ini baik-baik. Ada puluhan anak muda, semua pakai kaus kuning, berpose riuh di...
aya sering merenung, di tengah riuh rendahnya dunia digital yang katanya serba cepat ini. Ada satu k...
Gini, lho. Pernah nggak sih, pas lagi riding santai lewat jalanan antar desa, tiba-tiba mata kita ...
Di sebuah sudut Negara Konoha, tersembunyi Kabupaten M, dan di dalamnya, ada sebuah desa bernama Suk...

No comments yet.